[Kenapa kita harus menulis?]
Pertanyaan itu tercetak tebal
di layar. Tapi di mataku, kalimat itu seperti dibuat dari serangkaian lampu
neon penuh warna yang menyala berkedip-kedip, menarik perhatian, mencolok, dan
menyebalkan juga karena tidak mau berhenti berkedip. Lantas, aku sedikit
memiringkan kepala. Benar juga. Kenapa aku menulis? Kenapa harus menulis?
Kenapa kita harus menulis?
Jauh kala aku pertama
menulis, tak pernah sekalipun pertanyaan semacam itu melintas di benak. Yang
kutahu, menulis ya menulis. Aku menulis karena aku ingin menulis. Ada sesuatu
di dalam diri yang ingin kuluapkan, supaya helaan napas ini lebih ringan. Aku
tidak menyebut diriku dulu sebagai orang yang ‘dangkal’, melakukan sesuatu
tanpa dasar dan alasan yang kuat. Toh, dulu pertama menulis, aku masih
muda—sangat muda. Di mana yang kutahu hanyalah belajar, menyenangkan orang tua,
dan bersenang-senang. Itu saja. Hal-hal rumit yang jadi perdebatan di luar
sana, mana aku tahu. Hal-hal sepele yang nyatanya besar di diri tiap-tiap
orang, mana aku tahu. Yang kutahu, menulis hanya untuk bersenang-senang. Sama
seperti memainkan game di ponsel saat suntuk, bila pikiran sudah tidak
berkabut, ponsel diletakkan. Selesai.
Kemudian aku mendewasa.
Perlahan, meski tak pasti—harus kuakui ini benar adanya. Tapi akhirnya aku
sampai pada suatu titik di mana aku tersadar: duniaku kecil sekali. Aku telah
melihat, mendengar, menyaksikan, mengalami, membaca, dan berpikir, bahwa hidup
ini tak seperti garis lurus sempurna tanpa liku di sebuah kertas kosong. Di
mana kau bisa melihat tiap-tiap ujungnya tanpa penghalang. Hidup ini adalah
setiap goresan yang tak menyisakan cela di sebuah kertas. Kalau garisnya
memakai tinta hitam, kertasnya sudah hitam kelam. Saat kau membalik kertasnya,
kau bisa merasakan bekas goresan-goresan yang tajam, dalam, dan kuat. Polanya
carut marut. Bertumpukan. Kacau sekali. Bila kau telusuri tiap-tiap goresan
dengan ujung jemari, hatimu kalut. Gambaran ini membuat potongan ingatan akan
diriku yang menulis hanya untuk bersenang-senang terasa transparan, tak bisa
dilihat dan disentuh—mungkin bisa, tetapi hanya aku. Lantas, untuk apa kalau
hanya aku yang bisa melihat dan menyentuh? Aku akan menyebut diriku 'dangkal'
kalau aku terus menulis dengan tujuan itu. Dan aku tak mau menjadi 'dangkal.'
Tidak. Tidak. Aku tidak akan
langsung mengajukan diriku sebagai orang yang terpilih untuk mengubah kertas
hitam kelam itu menjadi putih bersih. Tapi aku juga tidak mengatakan bahwa itu
tidak mungkin. Aku hanya akan berpikir realistis. Mungkin tidak harus mengubah
kertas hitam kelam menjadi putih bersih, mungkin cukup dengan mengubah goresan
di kertas menjadi lebih halus.
Dari dalam dunia kecilku, aku
telah melihat keluar. Aku menemukan ketidakadilan, stigma, sikap
masa bodoh, kebodohan itu sendiri, kebencian, dan air mata. Begitu banyak air mata. Masih banyak lagi sebenarnya. Melihat itu semua, apa
yang bisa kulakukan? Aku hanya seorang gadis pendiam nan muram. Mengutarakan
pemikiran secara lisan saja lutut harus gemetar. Syukur lisanku bisa
dimengerti, kalau tidak, untuk apa gemetar di lututku? Jelas aku tak punya
kemampuan super untuk mengubah yang salah menjadi benar. Jelas tubuhku tak kuat
untuk menjadi dinding pelindung bagi yang lemah untuk bernaung, toh mengangkat
galon air saja aku tak kuat. Singkat kata, aku hanya punya sebuah laptop dan
kemampuan untuk diam di depannya selama berjam-jam tanpa merengek ingin keluar
rumah. Aku juga punya kemampuan tambahan untuk menyingkir dari konflik dan
mengamati dari sudut terjauh dengan beberapa bungkus makanan ringan—bajingan
sekali. Untuk pemikiran kritis, mungkin aku bisa mengasahnya. Lalu apa yang
tersisa? Keinginan untuk mengubah, yang mana telah kumiliki.
Ini menandai perubahan tujuan
menulisku yang awalnya hanya untuk senang-senang menjadi 'mengubah.' Mengubah
apa? Apa saja yang bisa perlu diubah. Yang salah menjadi benar, yang
lupa menjadi ingat, yang tidak pada tempatnya menjadi kembali di tempatnya,
yang adil menjadi tidak adil, yang sedih menjadi senang, yang kolot menjadi mau
memakai otaknya. Apa saja. Bukankah menulis itu luar biasa?
Tentu saja ini personal.
Semua orang punya tujuan dan alasannya masing-masing. Selama itu baik, silakan
saja. Kalau tidak baik, silakan terima resikonya. Aku tidak akan mendebat—tidak
akan mau. Tapi perlu kututurkan sekali lagi, menulis itu luar biasa. Di samping
tujuan menulisku untuk mengubah—dan senang-senang (maaf ini tidak bisa
kuhilangkan biar bagaimana pun juga), aku juga mendapatkan hal lain. Aku akan
membuat daftarnya. Dengan menulis:
- Kau merasa rileks. Hai, apa kau suka menulis? Kalau suka, selamat, kau menemukan salah satu media untuk menenangkan pikiran. Entah benar atau tidak, karena ini hanya berdasarkan pengalamanku, kau bisa merasa jauh lebih rileks setelah menulis. Kau bisa menuangkan hal-hal yang menggelayut di pikiran dan hatimu melalui hentakan demi hentakan atau goresan demi goresan yang merangkai menjadi sebuah kalimat, paragraf, cerita, ajakan, atau bahkan curhat sekali pun. Kau akan merasa lebih tenang dari sebelumnya. Bahkan saya pernah baca kalau menulis bisa menjadi terapi!
- Kau menjadi kritis. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Di saat kau tengah mencari-cari topik yang bisa kau angkat untuk tulisanmu, kau pasti akan melihat ke sekitar dan mempertajam indramu. Begitu kau menemukannya, kau akan bertanya. Kenapa bisa begitu? Kenapa harus begitu? Apa yang membuatnya menjadi begitu? Ya, pokoknya begitu. Kemudian kau mencari-cari sumber untuk memuaskan rasa ingin tahumu dan kau akhirnya menuangkan pemikiranmu terhadap hal tersebut dalam rangkaian kata. Kau menjadi kritis, bahkan tanggap terhadap hal-hal yang terjadi di sekeliling.
- Kau melakukan kebaikan. Ini hanya berlaku bila kau menulis tentang kebaikan. Oh, ayolah. Apa masih perlu kujelaskan panjang lebar? Kau menulis tentang kebaikan adalah kebaikan itu sendiri!
- Kau membuat perubahan. Ya. Ini sudah kusebutkan di luar daftar, tapi harus kucantumkan karena ini luar biasa dan bisa terjadi tanpa disadari siapapun, bahkan oleh pembaca itu sendiri.
Jadi, kenapa harus menulis? Tanya pada dirimu. Apa yang bisa kau lakukan
dengan menulis? Kalau sudah tahu, selamat bergabung dalam misi serupa.
NOTES:
Ditulis pada 27 Agustus 2016 sebagai tugas kelas menulis daring.
Telahsedikit-sedikit disunting.
Ditulis pada 27 Agustus 2016 sebagai tugas kelas menulis daring.
Telah